Jumat, 12 September 2008

Analisis Perbedaan Budaya dalam Film “Crash”

Budaya memang unik untuk dikaji. Orang dari budaya yang berbeda berkomunikasi dengan cara yang berbeda pula. Hal inilah yang perlu diperhatikan, apabila kita tidak dapat memahami bagaimana cara yang baik untuk berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya maka tidaklah mustahil akan muncul permasalahan yang signifikan. Untuk itulah kita harus benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya/lintas budaya termasuk pentingnya mempelajari hal tersebut. Dengan demikian diharapakan kita tidak akan menemui kesulitan maupun hambatan yang berarti dalam berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya.
Pada hakikatnya komunikasi antarbudaya/lintas budaya mengacu pada komunikasi antara orang-orang dari kultur yang berbeda, antara orang-orang yang memiliki kepercayaan, nilai, atau cara berperilaku kultural yang berbeda (Devito, 1997:479). Dalam film “Crash” yang menjadi sorotan adalah perbedaan antara ras kulit hitam dan kulit putih serta antara warga negara Amerika dengan warga negara asing yang tinggal disana, dalam hal ini adalah warga negara Persia. Dikisahkan dalam film tersebut bahwa ada beberapa persoalan-persoalan atau hambatan-hambatan yang dihadapai ketika orang Amerika ras kulit putih berkomunikasi dengan orang dari ras kulit hitam dimana ras kulit putih menganggap bahwa dirinya lebih baik dan lebih terhormat ketimbang ras kulit hitam. Sehingga mereka bisa berlaku sewenang-wenang terhadap ras kulit hitam. Direpresentasikan dalam film ketika seorang opsir merazia sepasang suami-istri dari ras kulit hitam dan memperlakukan si istri secara tidak sopan, selain itu juga ketika terjadi adegan tabrakan antara pengendara warga Amerika dengan pengendara warga Asia di awal cerita dimana si Amerika seenaknya menacaci maki dan menyalahkan warga negara Asia. Hal inilah yang biasa kita sebut sebagai etnosentrisme. Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk mengevaluasi nilai, kepercayaan, dan perilaku dalam kultur sendiri sebagai lebih baik, lebih logis, dan lebih wajar ketimbang dalam kultur lain (Devito, 1997:477). Etnosentrisme tidak jauh dengan asumsi kebanyakan orang yang hanya mementingkan kesamaan dan mengabaikan perbedaan. Orang-orang yang berasumsi seperti ini mengaggap bahwa cara merekalah yang benar dan cara orang lain salah atau tidak penting, orang lain harus menyesuaikan diri dengan dirinya, orang-orang seperti ini tidak mau menghargai perbedaan di antara mereka.
Selain yang disebutkan di atas, ada beberapa contoh hambatan komunikasi lintas budaya yang dihadapai, yaitu ketika kita menganggap bahwa semua orang dalam satu kultur itu sama, padahal tidak demikian adanya. Untuk lebih jelasnya kita mengambil adegan dalam film “Crash” ketika seorang berkewarganegaraan Persia akan membeli pistol pada toko yang penjaganya berkewarganegaraan Amerika. Orang Persia tersebut mendapatkan pelayanan yang kurang memuaskan dari penjaga toko, dia merasa dibohongi oleh si penjual dan pada akhirnya dia terjebak dalam stereotip bahwa semua warga Amerika adalah seorang penipu sehingga kemudian ketika dia mengundang jasa service perbaikan kunci pintu yang notabene si penyervice adalah orang Amerika lalu orang tersebut menyarankan kepada orang Persia untuk mengganti pintu saja sebab yang rusak bukanlah kuncinya namun memang pintu tersebut sudah waktunya untuk diganti namun si Persia tidak percaya dan malah menuduh kalau tukang service tersebut membohonginya. Hal ini berkaitan dengan hukum Murphy yang menyebutkan bahwa “Jika sesuatu bisa salah, maka dia akan salah” (Devito, 1997:488). Stereotip seperti ini juga mengakibatkan ketidak-sadaran (mindless) yang dikemukakan oleh seorang ahli psikologi Ellen Langer (1978, 1989). Bila Anda berada dalam keadaan tidak sadar (mindless), Anda akan bertindak dengan asumsi yang biasanya tidak layak secara intelektual (dalam Devito,1997:478). Contoh lain dalam film “Crash” yang berkaitan dengan teori ini adalah ketika seseorang yang memiliki ras kulit hitam bekerja pada kepolisian Amerika yang sebenarnya dia akan dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi namun karena atasannya telah terstereotip bahwa orang-orang berkulit hitam adalah orang-orang yang tidak sopan dan sering melakukan kejahatan, ditambah lagi adik dari orang yang akan dipromosikan tersebut memiliki catatan buruk dari kepolisian maka si kulit hitam ini tidak jadi dipromosikan, padahal atasan tersebut tahu bahwa si orang kulit hitam ini bekerja secara excellent, itulah yang disebut dengan mindless.
Sebenarnya komunikasi lintas budaya tidak akan menimbulkan masalah apabila kita memperhatikan bagaimana cara berkomunikasi yang efektif khususnya dalam komunikasi lintas budaya seperti yang terangkum dalam Devito, 1997:493. Yaitu:
ü Menghindari hambatan-hambatan yang mungkin terjadi dalam komunikasi lintas budaya.
ü Memanfaatkan prinsip-prinsip interaksi antarpribadi yang efektif seperti keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, kesetaraan, percaya diri, kedekatan, manajemen interaksi, daya ekspresi, dan berorientasi kepada pihak lain.
Mempelajari komunikasi lintas budaya memilik arti penting tersendiri bagi kita. Selain apa yang telah disebutkan di atas bahwa supaya kita tidak menemui hambatan-hambatan yang begitu berarti jika kita melakukan komunikasi antarbudaya juga komunikasi lintas budaya dapat menciptakan perdamaian dunia yang secara otomatis akan menciptakan kehidupan yang sejahtera bagi masyarakat di seluruh dunia. Mungkin apabila setiap orang memahami dan mengerti dengan baik bagaiman cara berkomunikasi antarbudaya serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, di dunia ini tidak akan ada lagi peperangan dan konflik yang masih sering terjadi akhir-akhir ini seperti konflik di Timur Tengah, konflik antara Amerika dengan Iran-Irak, dan lain sebagainya. Dengan mempelajari komunikasi lintas budaya diharapkan kita lebih dapat menghargai budaya lain sehingga terciptalah komunikasi yang efektif di dalamnya dan seluruh masyarakat di dunia dapat hidup damai perdampingan.

0 komentar: